Jumat, 18 Desember 2015

LAPORAN PRAKTIKUM TRAPPING (PENJEBAKKAN, IDENTIFIKASI DAN PENYISIRAN TIKUS)



 LAPORAN PRAKTIKUM
PENGANTAR VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKIT
“TRAPPING (PENJEBAKKAN, IDENTIFIKASI
DAN PENYISIRAN TIKUS)”




Disusun Oleh:
Arfiyanti Diah Witjaksani
J410140094
Kesmas 3C/Shift D
(Mengikuti Shift E)



Pengampu:
Sri Darnoto, SKM.,M.PH.





PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
A.                Latar Belakang
Vektor adalah anthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatuInfectious agent dari sumber Infeksi kepada induk semang yang rentan. Bagi duniakesehatn masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor yang dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit, seperti yang sudah diartikan diatas. Adapun dari penggolongan binatang ada dikenal dengan 10 golongan yang dinamakan phylum diantaranya ada 2 phylum sangat berpengaruh terhadap kesehatn manusia yaitu phylum anthropoda seperti nyamuk yang dapat bertindak sebagai perantara penularan penyakit malaria, demam berdarah, dan phylumchodata yaitu tikus sebagai pengganggu manusia, serta sekaligus sebagai tuan rumah (hospes), pinjal Xenopsylla cheopis yang menyebabkan penyakit pes.
Sebenarnya disamping nyamuk sebagai vektor dan tikus binatang pengganggu masih banyak binatang lain yang berfungsi sebagai vektor dan binatang pengganggu. Tikus adalah mamalia yang termasuk dalam suku Muridae. Spesies tikus yang paling dikenal adalah mencit (Mus spp.), serta tikus got (Rattus norvegicus) yang ditemukan hampir di semua negara dan merupakan suatu organisme model yang penting dalam biologi, dan juga merupakan hewan peliharaan yang populer. Vektor-vektor tersebut sangat berpengaruh sebagai penyebab kesehatan pada manusia, untuk itu keberadaan vektor dan binatang penggangu tersebut harusdi tanggulangi, karena kita tidak mungkin membasmi sampai ke akar-akarnya melainkan kita hanya mampu berusaha mengurangi atau menurunkan populasinya ke satu tingkat tertentu yang tidak mengganggu ataupun membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu untuk mencapai harapan tersebut perlu adanya suatu managemen pengendalian dengan arti kegiatan-kegiatan atau proses pelaksanaan yang bertujuan untuk menurunkan densitas populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan.
Baik disadari ataupun tidak, pada kenyataanya Insect dan Rodent telah menjadi saingan bagi manusia. Selain itu, insect dan rodent pada dasarnya dapat mempengaruhi bahkan mengganggu kehidupan manusia dengan berbagai cara. Dalam hal jumlah kehidupan yang terlibat dalam gangguan tersebut, erat kaitannya dengan kejadian atau penularan penyakit. Hal tersebut dapat dilihat dari pola penularan penyakit pest yang melibatkan empat faktor kehidupan, yakni Manusia, pinjal, kuman dan tikus.
Tikus mempunyai kebiasaan menghuni di sekitar tempat hunian manusia. Tikus dapat menimbulkan gangguan di bidang pertanian, bidang ekonomi, bidang kesehatan dan rumah tangga. Pada lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, tikus hadir, berkembang biak dan menyebar. Pengendalian tikus dengan cara mekanik diantaranya dengan memasang perangkap tikus (Trapping).
Upaya untuk mempelajari kehidupan tikus menjadi sangat relefan. Salah satunya adalah mengetahui jenis atau spesies tikus yang ada, melalui identifikasi maupun deskripsi. Untuk keperluan ini dibutuhkan kunci identifikasi tikus atau tabel deskripsi tikus, yang memuat ciri–ciri morfologi masing–masing jenis tikus. Ciri–ciri morfologi tikus yang lazim dipakai untuk keperluan tersebut di antaranya adalah: berat badan (BB), panjang kepala ditambah badan (H&B), ekor (T), cakar (HF), telinga (E), tengkorak (SK) dan susunan susu (M). Disamping itu, lazim pula untuk diketahui bentuk moncong, warna bulu, macam bulu ekor, kulit ekor, gigi dan lain-lain. Insect atau ektoparasit yang menginfestasi tikus penting untuk diketahui, berkaitan dengan penentuan jenis vektor yang berperan dalam penularan penyakit yang tergolong rat borne deseases.
Keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara, yang paling umum adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda-tanda berikut merupakan penilaian adanya kehidupan tikus, yaitu:
a). Gnawing (bekas gigitan)
b). Burrows (galian /lubang tanah)
c). Dropping (kotoran tikus)
d). Runways (jalan tikus)
e). Foot print (bekas telapak kaki)
f). Tanda lain: Adanya bau tikus, bekas urine dan kotoran tikus, suara, bangkai tikus
B.        Tujuan
1.  Mengidentifikasi dan mengetahui ciri khas dari tikus berdasarkan jenis dan habitatnya.
2.  Mengetahui jenis tikus yang terdapat dirumah warga pada saat melakukan trapping (penjebakkan).


C.        Cara Kerja
            Alat dan Bahan
·         Kunci identifikasi tikus (genera rattus)
·         Table deskripsi tikus (famili muridae)
·         Spuit (suntukan)
·         Rat trap (perangkap tikus hidup)
·         Mistar 30cm dan 50cm
·         Timbangan
·         Kantong plastik hitam volume 50gr
·         Sisir tikus/ sikat sepatu
·         Insektisida aerosol
·         Chloroform
·         Umpan tikus
·         Tikus hidup

Prosedur Kerja
·         Pre Bitting
a)      Pasanglah berbagai makanan di tempat-tempat yang akan dipasang perangkap tikus (sesuai dengan kaidah sampling). Hindarkan kemungkinan termakan oleh binatang.
b)      Biarkan selama sehari-semalam
·         Trapping
a)      Semua perangkap yang akan dipakai, dicuci terlebih dahulu, dengan memasukanya pada air panas, untuk menghilangkan lemak/bau khas tikus yang sudah pernah masuk kedalam perangkap. Gunakan perangkap tikus hidup (Cage Trap)
b)      Pasanglah perangkap dibeberapa tempat (sesuai dengan kaidah sampling), dengan menggunakan umpan.
c)      Pada pagi hari berikutnya, semua perangkap diambil. Pisahkan antara perangkap yang kosong dan perangkap yang ada tikusnya.
d)     Perangkap yang ada tikusnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi tikusnya dan ektoparasitnya.

·         Identificating
a)      Perangkap yang ada tikusnya dimasukan pada kantong plastik, kemudian kantong diikat rapat.
b)      Ambil chloroform dengan spuit, kemudian disuntikan kedalam kantong tersebut.
c)      Diamkan beberapa saat hingga tikus mati, kemudian kantong dibuka.
d)     Bila perlu, semprotkan insectisida aerosol ke dalam kantong untuk membunuh ektoparasit yang tidak mati oleh chloroform.
e)      Perangkap dikeluarkan dari kantong, dan tikus yang mati dikeluarkan dari perangkap.
f)       Lakukan penyisiran (dengan serit atau sikat sepatu) terhadap tikus tersebut untuk mendapatkan ektoparasit.
g)      Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan dan pengukuran terhadap tikus tersebut dengan kunci identifikasi.dapat pula dilakukan pengukuran terutama terhadap berat badan (BB), Panjang kepala ditambah badan (H&B), ekor (T), Cakar (HF), telinga (E), tengkorak (SK), dan susunan susu (M).
h)      Interpretasi data diatas, sesuai dengan kunci identifikasi, atau mencocokkan pada tabel deskripsi tikus.

D.        Hasil dan Pembahasan
Praktikum yang kami lakukan pada hari dan tanggal Jum’at, 27 November 2015, bertempat di Workshop-Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil yang didapatkan usai praktikum:
No.
Spesies Tikus
Pinjal (+/-)
BB
(gr)
H&B (cm)
T
(cm)
HF (cm)
E
(cm)
SK (cm)
M
1.
Ratus Tiomanicus
-
135
36
20
3
2
5
10
2.
Ratus Tiomanicus
-
172
36
19
3,2
1,5
4
10
3.
Ratus Norvegicus
+
400,5
43,5
21
4,5
1,8
5,5
-
4.
Ratus Norvegicus
-
367,5
44
21,5
4,5
2
6
12
5.
Ratus Diardi
-
167
37
19
3,5
2
4
5

Berdasarkan hasil di atas, didapatkan 5 ekor tikus dengan spesies dua ekos Ratus Tiomanicus (Tikus Kebun), dua ekor Ratus Norvegicus (Tikus Reol), dan satu ekos Ratus Diardi (Tikus Rumah). Trapping (penjebakkan) dilakukan di rumah-rumah warga dengan metode sesuai kaidah sampling, menggunakan umpan seperti tempe mentah dan ikan asin.
Terdapat tikus yang positif ektoparasit (pinjal) pada tikus reol atau Ratus Norvegicus, dengan ciri khas badan yang berwarna coklat kelabu, berat badan sebesar 400,5 gram, panjang keseluruhan 43,5 cm, panjang ekor 21 cm, panjang telapak kaki belakang 4,5 cm, panjang telinga dan panjang tengkorak (kepala) 1,8 dan 5,5 cm. Tikus ini tidak memiliki mammae atau jumlah puting susu dikarenakan tikus ini termasuk tikus jantan.
Menurut Priambodo, tikus reol (Rattus norvegicus) akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan. Penggalian ini bertujuan untuk membuat sarang. Tanah merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup tikus, terutama tikus yang bersifat teristrial. Tubuh tikus telah diciptakan untuk dapat beradaptasi dengan tanah. Bentuk kepalanya runjung, hampir tanpa leher, dan tubuhnya berbentuk silinder yang kompak. Matanya kecil dan hanya mampu membedakan terang atau gelap, dan melihat bentuk secara sederhana, buta warna. Kaki depan dan belakangnya telah beradaptasi untuk menggali tanah seperti mempunyai jari-jari dan telapak kaki yang halus dan kuat, tanpa lamela seperti tikus yang bersifat arboreal. Ciri-ciri morfologi tikus jenis Rattus norvegicus di atas mirip dengan ciri-ciri morfologi tikus yang praktikan temukan.
Lokasi trapping dilakukan di rumah-rumah warga yang lokasinya dekat dengan Terminal Kartasura, penempatan cage trap dilakukan dimana saja yang sekiranya merupakan tempat-tempat tikus berlalu lalang. Dari 34 cage trap, hanya 8 cage trap saja yang mendapatkan tikus. Hal ini bisa disebabkan cage trap yang tidak dicuci terlebih dahulu oleh praktikan. Tikus memiliki indera penciuman yang sangat tajam sehingga apabila cage trap tidak dicuci dan sempat ada tikus yang terjebak didalamnya, maka trapping selanjutnya kemungkinan besar tidak akan mendapatkan tikus yang terjebak lagi.
Keberadaan tikus di suatu tempat dapat diketahui dengan beberapa cara walau pada umumnya ditandai dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat akan adanya infestasi tikus dapat diperoleh melalui  pengamatan terhadap bahan makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda  pergerakan tikus dari sarang ke daerah makanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tikus pada umumnya hanya berada dalam radius sekitar 100 meter dari lokasi sarangnya. Tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengevaluasi perluasan infestasi tikus diantaranya bekas gigitan atau gerogotan tikus dan liang yang terdapat disepanjang pagar atau di sekitar tempat penyimpanan padi (Chandra, 2007).
Tikus termasuk dalam hewan rodent. Rodent merupakan salah satu ordo dari binatang menyusui. Bahasa Latinnya Rodentia. Rodent, yaitu mamalia yang sangat merugikan, mengganggu kehidupan serta kesejahteraan manusia, tetapi relatif bisa hidup berdampingan dengan manusia (Astuti, 2013).
Faktor lingkungan  biotik dan abiotik akan mempengaruhi dinamika populasi tikus. Suatu  populasi tikus domestik, peridomestik dan silvatik akan beragam dalam struktur umur, fase perkembangan atau komposisi genetik dari individu-individu penyusunnya yang diduga mempunyai perbedaan keragaman komposisi ektoparasit yang menempatinya. Hubungan tikus dan manusia seringkali bersifat parasitisme, yaitu menimbulkan kerugian dalam berbagai  bidang kehidupan manusia (Ustiawan, 2013).
Hubungan tikus dengan kesehatan masyarakat tikus domestik dan binatang pengerat lain, karena distribusinya yang luas dan hubungannya dengan manusia, berpotensi menyebabkan penyakit yang penting. Penderitaan yang ditimbulkan akibat tikus ini mulai dari yang ringan berupa rasa tidak enak pada tempat bekas gigitan sampai keadaan yang serius, seperti typhoid murine fever, dan yang fatal seperti pes bubonic. Demam gigitan tikus, sesuai dengan namanya ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang yang terinfeksi oleh binatang pengerat.
Walaupun memiliki angka presentase kasus yang rendah, penyakit ini sering menjadi masalah kesehatan dibeberapa daerah perkotaan tempat ratusan orang, digigit oleh binatang pengerat setiap tahunnya. Penyakit weil atau hemorrhagic jaundice mungkin ditularkan ke manusia melalui makanan yang terkontaminasi atau akibat kontak dengan tikus atau ekskreta tikus yang infeksi. Tikus dapat berperan dalam penularan berbagai macam penyakit seperti disentry amuba, cacing trichinosis, dan sebagainya. Tikus rumah (mus musculus) dikenal sebagai reservoir pada rickettsial poks dibaagian timur laut amerika dan diketahui dapat berperan sebagai reservoir penyakit pes (Maulana,dkk 2011).
Untuk mencegah permasalahan penyakit-penyakit tersebut, perlu diadakannya pengendalian. Pengendalian rodent (tikus) dapat dilakukan dengan cara:
a.       Inspeksi tikus dan inisial survei Inspeksi tikus dilakukan sebelum programpengendalian tikus dilaksanakan, inspeksi yang baik akan memberikan hasil yang maksimal dalam pengendalian tikus. Sedangkan, inisial survei dimaksudkan untuk menentukan kondisi awal atau tingkat serangan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sebelum dilakukan program pengendalian tikus.
b.      Sanitasi Sanitasi diperlukan untuk suksesnya program pengendalian hama tikus. Supaya mendapatkan hasil sanitasi yang baik, maka perlu dibuat rekomendasi yang benar tentang pengelolaan sampah, menjaga kebersihan area, sistem tata letak barang digudang dengan susunan berjarak dari dinding dan tertata diatas palet, dan sebagainya. Tikus menyukai tempat yang kotor dan lembab, dengan melakukan sanitasi sama halnya dengan menghilangkan tempat beristirahat, bersembunyi, berteduh dan berkembang biak tikus. Selain itu, makanan tikus juga dapat dihilangkan.
c.       Rat proofing merupakan upaya pengendalian tikus dengan upaya mencegah lokasi tetap tertutup dari celah sehingga tikus tidak bisa masuk. Tikus dapat leluasa masuk lewat bawah pintu yang renggang, lubang pembuangan air yang tidak tertutup kawat kasa, lewat shaft yang tidak bersekat atau lewat jalur kabel dari bangunan yang saling tersambung disekitarnya.
d.      Rodent killing (trapping program dan rodenticide program). Trapping program merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan tikus yaitu dengan membuat perangkap yang diletakkan ditempat yang biasanya dilewati tikus sehingga tikus bisa masuk dan terperangkap. Sedangkan, poisoning programe merupakan pengendalian tikus dengan memberikan racun pada umpan tikus. Keberhasilannya tergantung bagaimana usaha agar tikus memilih dan menyukai umpan makanan yang dipasang dan tidak memilih menyukai makanan lain yang ada disekitarnya. Umpan makanan harus disukai bagi tikus dan pemangsanya ditempat yang mudah dijangkau tikus. Rodenticide programe menggunakan bahan kimia untuk mengendalikan tikus. Rodentisida yang digunakan adalah rodentisida antikoagulan (Fanny, 2014).
Adapun Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tikus:
a.       Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan pada point 6 (vector penyakit) menyatakan bahwa didalam rumah tidak diperbolehkan adanya tikus yang bersarang.
b.      Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002  tentang  Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja  Perkantoran dan Industri pada bab IX point A menyebutkan bahwa setiap ruang perkantoran harus bebas dari tikus.
c.       Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.
1.      Pada Bab II point:
a).  Point 2a: Atap harus kuat, tidak bocor dan tidak menjadi tempat perindukan tikus.
b).  Point 10b: Halaman sekolah harus selalu dalam keadaan bersih, tidak bocor dan tidak menjadi tempat bersarang dan berkembangbiaknya serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainya.
2.   Pada Bab III point:
a). Point 5a: Makanan jajanan yang dijual harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup (terlindung dari lalat ata binatang lain dan debu).
b). Point 5c: Tempat penyimpanan makanan yang dijual pada warung sekolahan/kantin harus selalu terpelihara dan selalu dalam keadaan bersih, terlindungi dari debu, terhindar dari bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain.
d.  Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 menyebutkan bahwa fasilitas sanitasi adalah sarana fisik bangunan dan perlengkapannya digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang dapat merugikan kesehatan manusia antara lain sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja (locker), peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan.
e.   Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 519/MENKES/SK/VI/2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat menyatakan bahwa:
1.  tempat penjualan bebas vektor penular penyakit dan tempat perindukannya,seperti: lalat, kecoa, tikus, nyamuk.
2.  Pada los makanan siap saji dan bahan pangan harus bebas dari lalat, kecoa dan tikus.
3.  Pada area pasar angka kepadatan tikus harus nol.
4.  Dilakukan penyemprotan lalat, nyamuk, kecoa dan tikus secara berkala minimal 2 kali setahun
f.    Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 426/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Risiko Kesehatan Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas Dalam Rangka Karantina Kesehatan.
Tikus dibidang kesehatan dapat menjadi reservoir beberapa patogen  penyebab penyakit pada manusia, baik hewan, ternak maupun peliharaan. Penyakit tersebut dapat ditularkan melalui ektoparasit yang ada di tubuh tikus. Ektoparasit yang di temukan pada tikus berbeda dengan binatang lainnya, baik keragaman jenis maupun jumlah ektoparasit. Dibandingkan ektoparasit lainnya, ektoparasit pinjal mempunyai peran penting dalam  bidang kesehatan. Pinjal merupakan serangga kecil Siphonaptera dan mengalami metamorfosis sempurna. Pinjal dewasa bersifat parasitik, sedangkan pra-dewasanya hidup disarang atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus (Ustiawan, 2013). Adapun siklus hidup pinjal terdiri dari empat tahapan yaitu:
a. Tahap telur Kutu betina dapat bertelur 50 telur perhari di hewan peliharaan dan selama hidupnya dapat bertelur sampai 1.500 telur. Telur kutu ini tidak lengket, sehingga mudah jatuh dan dapat menetas dalam dua atau lima hari.
b. Tahap larva Setelah menetas, larva akan menghindar dari sinar ke daerah yang gelap di sekitar rumah dan makan kotoran kutu loncat. Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan membuat kepompong yang selanjutnya tumbuh menjadi pupa.
c.  Tahap pupa Lama tahap pupa ini rata-rata 8 sampai 9 hari, tergantung dari kondisi cuaca, ledakan populasi, dan sebagainya.
d. Tahap dewasa Kutu loncat dewasa keluar dari kepompongnya ketika merasa hangat, getaran, dan karbondioksida yang menandakan ada host di sekitarnya. Setelah loncat ke host, selanjutnya kutu dewasa akan kawin dan memulai siklus baru. Siklus secara keseluruhan dapat dipendek secepatnya sampai 3–4 minggu.
e. Umur rata-rata pinjal sekitar 6 minggu, namun pada kondisi tertentu dapat berumur 1 tahun. Pinjal betina dapat bertelur sebanyak 20–28 per-hari (Fanny, 2014).
Pinjal merupakan salah satu jenis vektor yang dapat menganggu kesehatan manusia. Penyakit yang dibawa oleh vektor ini misalnya adalah penyakit pes (sampar = plague) dan murine typhus yang dipindahkan dari tikus ke manusia. Disamping itu pinjal bisa berfungsi sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita anjing dan tikus, yang kadang-kadang juga bisa menginfeksi manusia. Beberapa spesies pinjal menggigit dan menghisap darah manusia. Vektor terpenting untuk penyakit pes dan murine typhus ialah pinjal tikus Xenopsylla cheopis. Kuman pes, Pasteurella, berkembang biak dalam tubuh penyakit tikus sehingga akhirnya menyumbat tenggorokkan pinjal itu. Jika pinjal ingin mengisap darah maka ia harus terlebih dulu muntah untuk mengeluarkan kuman-kuman pes yang menyumbat tenggorokkannya. Muntahan tersebut masuk dalam luka gigitan dan terjadi infeksi dengan Pasteurella (Fanny, 2014).
Adapun cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan pinjal yaitu:
a.    Mekanik atau fisik
Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya. Selain itu juga dapat melalui pemberantasan inangnya yaitu tikus dengan pemasangan perangkap tikus. Dinas Kesehatan menyajikan Upaya pengendalian pinjal penular pes melalui pemasangan bumbung bambu berinsektisida (Fanny, 2014).
b.    Kimia
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida dari golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator (IGR). Secara umum untuk mengatasi pinjal, formulasi serbuk (dust) dapat diaplikasikan pada lantai rumah dan tempat jalan lari tikus. Insektisida ini dapat juga ditaburkan dalam lubang persembunyian tikus. Diberbagai tempat Xenopsylla cheopis dan Pulex irritans telah resisten terhadap DDT, HCH dan dieldrin. Bila demikian, insektisida organofosfor dan karbamat seperti diazinon 2 %, fention 2%, malation 2%, fenitrotion 2%, iodofenfos 5%, atau karbaril 3-5% dapat digunakan. Insektisida fogs atau aerosol yang mengandung malation 2% atau fenklorfos 2% kadang-kadang juga digunakan untuk fumigasi rumah yang mengandung pinjal. Insektisida smoke bombs yang mengandung permetrin atau tirimifos metal dapat juga digunakan untuk desinfeksi rumah (Fanny, 2014).
Upaya pengendalian pinjal di daerah urban pada saat meluasnya kejadian pes atau murinethyphus, diperlukan insektisida dan aplikasi yang terencana dengan baik agar operasi berjalan dengan memuaskan. Pada saat yang sama
ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan meningkatkan transmisi penyakit.
E.        Simpulan
Pemasangan perangkap tikus hidup diperlukan waktu selama sehari semalam. Pemasangan perangkap menggunakan umpan tempe mentah dan ikan asin. Sebelum melakukan pemasangan perangkap tikus hidup, hendaknya alat perangkap (cage trap) dicuci terlebih dahulu agar tikus yang menjadi sasaran mau memasuki perangkap yang berisi umpan tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, tikus yang diperoleh adalah tikus reol, tikus kebun, dan tikus rumah. Terdapat tikus yang positif pinja (ektoparasit) yaitu pada tikus jenis reol.
F.         Saran
Dalam rangka mencegah penyakit yang disebabkan oleh tikus, maka  perlu memperhatikan kepadatan tikus dan keberadaan tikus sekaligus dilakukannya tindakan pengendalian. Adanya tikus dipemukiman perlu diwaspadai pula keberadaan ektoparasit terutama pinjal yang berpotensi menularkan penyakit pes, murine thypus dan tularemia.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D.R. 2013. Keefektifan Rodentisida Racun Kronis Generasi II Terhadap Keberhasilan       Penangkapan Tikus. KESMAS. Vol. 8(2):183-189.
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku         Kedokteran EGC.
Fanny Oktavia, dkk. 2014.  Laporan Praktikum Kesehatan Lingkungan Pemantauan   dan            Identifikasi Jentik Nyamuk, Pinjal Tikus, dan Tikus di Fakultas Kesehatan        Masyarakat Universitas Airlangga. Universitas Airlangga.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 426/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Risiko Kesehatan Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas Dalam Rangka Karantina Kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan  Kesehatan Perumahan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor  19/MENKES/SK/VI/2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat.
Maulana, Yusuf. 2011. Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus dan Cecurut Di Daerah Fokus Pes Desa Suroteleng Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Balaba Vol.8(1): 17-20.
Priambodo S. 2006. Tikus dalam Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan Biologi dan    Pengendalian Hama Pemukiman. In: Sigit SH, ed. Bogor: Fakultas Kedokteran  Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ustiawan, Adil. 2013. Spesies Tikus, Cecurut Dan Pinjal Yang Ditemukan Di Pasar Kota Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara Tahun 2013. Balaba. Vol.9(2): 39-46.
LAMPIRAN

         
Gambar 1. Cage Trap Yang Hendak Dipasang.                     Gambar 2. Tikus Terperangkap Didalam Cage Trap
                                                                                                          Yang Dipasang Sehari Semalam.




            
Gambar 3. Penyuntikkan Chloroform Pada Tikus                 Gambar 4. Penimbangan Tikus.
Yang Hendak Di Identifikasi.





Gambar 5. Pengukuran Tubuh Tikus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar