LAPORAN
PRAKTIKUM
PENGANTAR
VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKIT
“TRAPPING
(PENJEBAKKAN, IDENTIFIKASI
DAN
PENYISIRAN TIKUS)”
Disusun Oleh:
Arfiyanti Diah Witjaksani
J410140094
Kesmas 3C/Shift D
(Mengikuti Shift E)
Pengampu:
Sri Darnoto, SKM.,M.PH.
PROGRAM
STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
A.
Latar
Belakang
Vektor adalah anthropoda yang dapat menimbulkan dan
menularkan suatuInfectious agent dari sumber Infeksi kepada induk semang yang
rentan. Bagi duniakesehatn masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor
yang dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara
langsung juga sebagai perantara penularan penyakit, seperti yang sudah
diartikan diatas. Adapun dari penggolongan binatang ada dikenal dengan 10
golongan yang dinamakan phylum diantaranya ada 2 phylum sangat berpengaruh
terhadap kesehatn manusia yaitu phylum anthropoda seperti nyamuk yang dapat
bertindak sebagai perantara penularan penyakit malaria, demam berdarah, dan phylumchodata
yaitu tikus sebagai pengganggu manusia, serta sekaligus sebagai tuan rumah
(hospes), pinjal Xenopsylla cheopis yang menyebabkan penyakit pes.
Sebenarnya disamping nyamuk sebagai vektor dan tikus
binatang pengganggu masih banyak binatang lain yang berfungsi sebagai vektor
dan binatang pengganggu. Tikus adalah mamalia yang
termasuk dalam suku
Muridae. Spesies
tikus yang paling dikenal adalah mencit (Mus spp.), serta tikus got
(Rattus norvegicus) yang ditemukan hampir di semua negara dan merupakan suatu organisme
model yang penting dalam biologi, dan juga merupakan hewan
peliharaan yang populer. Vektor-vektor tersebut sangat berpengaruh sebagai
penyebab kesehatan pada manusia, untuk itu keberadaan vektor dan binatang
penggangu tersebut harusdi tanggulangi, karena kita tidak mungkin membasmi
sampai ke akar-akarnya melainkan kita hanya mampu berusaha mengurangi atau
menurunkan populasinya ke satu tingkat tertentu yang tidak mengganggu ataupun
membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu untuk mencapai harapan tersebut
perlu adanya suatu managemen pengendalian dengan arti kegiatan-kegiatan atau
proses pelaksanaan yang bertujuan untuk menurunkan densitas populasi vektor
pada tingkat yang tidak membahayakan.
Baik disadari ataupun tidak, pada kenyataanya Insect dan Rodent telah
menjadi saingan bagi manusia. Selain itu, insect dan rodent pada dasarnya dapat
mempengaruhi bahkan mengganggu kehidupan manusia dengan berbagai cara. Dalam
hal jumlah kehidupan yang terlibat dalam gangguan tersebut, erat kaitannya
dengan kejadian atau penularan penyakit. Hal tersebut dapat dilihat dari pola
penularan penyakit pest yang melibatkan empat faktor kehidupan, yakni Manusia,
pinjal, kuman dan tikus.
Tikus mempunyai kebiasaan menghuni di sekitar tempat hunian manusia. Tikus
dapat menimbulkan gangguan di bidang pertanian, bidang ekonomi, bidang
kesehatan dan rumah tangga. Pada lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan, tikus hadir, berkembang biak dan menyebar. Pengendalian tikus dengan
cara mekanik diantaranya dengan memasang perangkap tikus (Trapping).
Upaya untuk mempelajari kehidupan tikus menjadi sangat relefan. Salah
satunya adalah mengetahui jenis atau spesies tikus yang ada, melalui
identifikasi maupun deskripsi. Untuk keperluan ini dibutuhkan kunci
identifikasi tikus atau tabel deskripsi tikus, yang memuat ciri–ciri morfologi
masing–masing jenis tikus. Ciri–ciri morfologi tikus yang lazim dipakai untuk
keperluan tersebut di antaranya adalah: berat badan (BB), panjang kepala
ditambah badan (H&B), ekor (T), cakar (HF), telinga (E), tengkorak (SK) dan
susunan susu (M). Disamping itu, lazim pula untuk diketahui bentuk moncong,
warna bulu, macam bulu ekor, kulit ekor, gigi dan lain-lain. Insect atau
ektoparasit yang menginfestasi tikus penting untuk diketahui, berkaitan dengan
penentuan jenis vektor yang berperan dalam penularan penyakit yang tergolong
rat borne deseases.
Keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara, yang paling umum
adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda-tanda berikut merupakan
penilaian adanya kehidupan tikus, yaitu:
a). Gnawing (bekas gigitan)
b). Burrows (galian /lubang
tanah)
c). Dropping (kotoran tikus)
d). Runways (jalan tikus)
e). Foot print (bekas telapak
kaki)
f). Tanda lain: Adanya bau tikus,
bekas urine dan kotoran tikus, suara, bangkai tikus
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi dan mengetahui ciri khas dari
tikus berdasarkan jenis dan habitatnya.
2. Mengetahui jenis tikus yang terdapat dirumah
warga pada saat melakukan trapping (penjebakkan).
C. Cara Kerja
Alat dan
Bahan
·
Kunci identifikasi tikus (genera
rattus)
·
Table deskripsi tikus (famili
muridae)
·
Spuit (suntukan)
·
Rat trap (perangkap tikus hidup)
·
Mistar 30cm dan 50cm
·
Timbangan
·
Kantong plastik hitam volume 50gr
·
Sisir tikus/ sikat sepatu
·
Insektisida aerosol
·
Chloroform
·
Umpan tikus
·
Tikus hidup
Prosedur Kerja
·
Pre Bitting
a)
Pasanglah berbagai makanan di
tempat-tempat yang akan dipasang perangkap tikus (sesuai dengan kaidah
sampling). Hindarkan kemungkinan termakan oleh binatang.
b)
Biarkan selama sehari-semalam
·
Trapping
a)
Semua perangkap yang akan dipakai, dicuci
terlebih dahulu, dengan memasukanya pada air panas, untuk menghilangkan
lemak/bau khas tikus yang sudah pernah masuk kedalam perangkap. Gunakan
perangkap tikus hidup (Cage Trap)
b)
Pasanglah perangkap dibeberapa tempat
(sesuai dengan kaidah sampling), dengan menggunakan umpan.
c)
Pada pagi hari berikutnya, semua perangkap
diambil. Pisahkan antara perangkap yang kosong dan perangkap yang ada tikusnya.
d)
Perangkap yang ada tikusnya dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi tikusnya dan ektoparasitnya.
·
Identificating
a)
Perangkap yang ada tikusnya dimasukan pada
kantong plastik, kemudian kantong diikat rapat.
b)
Ambil chloroform dengan spuit, kemudian
disuntikan kedalam kantong tersebut.
c)
Diamkan beberapa saat hingga tikus mati,
kemudian kantong dibuka.
d)
Bila perlu, semprotkan insectisida aerosol
ke dalam kantong untuk membunuh ektoparasit yang tidak mati oleh chloroform.
e)
Perangkap dikeluarkan dari kantong, dan
tikus yang mati dikeluarkan dari perangkap.
f)
Lakukan penyisiran (dengan serit atau sikat
sepatu) terhadap tikus tersebut untuk mendapatkan ektoparasit.
g)
Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan dan
pengukuran terhadap tikus tersebut dengan kunci identifikasi.dapat pula
dilakukan pengukuran terutama terhadap berat badan (BB), Panjang kepala
ditambah badan (H&B), ekor (T), Cakar (HF), telinga (E), tengkorak (SK),
dan susunan susu (M).
h)
Interpretasi data diatas, sesuai dengan
kunci identifikasi, atau mencocokkan pada tabel deskripsi tikus.
D. Hasil dan Pembahasan
Praktikum yang kami lakukan pada hari dan tanggal
Jum’at, 27 November 2015, bertempat di Workshop-Kesehatan Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil yang didapatkan usai
praktikum:
No.
|
Spesies Tikus
|
Pinjal (+/-)
|
BB
(gr)
|
H&B (cm)
|
T
(cm)
|
HF (cm)
|
E
(cm)
|
SK (cm)
|
M
|
1.
|
Ratus Tiomanicus
|
-
|
135
|
36
|
20
|
3
|
2
|
5
|
10
|
2.
|
Ratus Tiomanicus
|
-
|
172
|
36
|
19
|
3,2
|
1,5
|
4
|
10
|
3.
|
Ratus Norvegicus
|
+
|
400,5
|
43,5
|
21
|
4,5
|
1,8
|
5,5
|
-
|
4.
|
Ratus Norvegicus
|
-
|
367,5
|
44
|
21,5
|
4,5
|
2
|
6
|
12
|
5.
|
Ratus Diardi
|
-
|
167
|
37
|
19
|
3,5
|
2
|
4
|
5
|
Berdasarkan hasil di atas, didapatkan 5 ekor tikus
dengan spesies dua ekos Ratus Tiomanicus (Tikus Kebun), dua ekor Ratus
Norvegicus (Tikus Reol), dan satu ekos Ratus Diardi (Tikus Rumah). Trapping (penjebakkan)
dilakukan di rumah-rumah warga dengan metode sesuai kaidah sampling,
menggunakan umpan seperti tempe mentah dan ikan asin.
Terdapat tikus yang positif ektoparasit (pinjal)
pada tikus reol atau Ratus Norvegicus, dengan ciri khas badan yang berwarna
coklat kelabu, berat badan sebesar 400,5 gram, panjang keseluruhan 43,5 cm,
panjang ekor 21 cm, panjang telapak kaki belakang 4,5 cm, panjang telinga dan
panjang tengkorak (kepala) 1,8 dan 5,5 cm. Tikus ini tidak memiliki mammae atau
jumlah puting susu dikarenakan tikus ini termasuk tikus jantan.
Menurut Priambodo, tikus reol
(Rattus norvegicus) akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan.
Penggalian ini bertujuan untuk membuat sarang. Tanah merupakan faktor penting
dalam menentukan kelangsungan hidup tikus, terutama tikus yang bersifat teristrial.
Tubuh tikus telah diciptakan untuk dapat beradaptasi dengan tanah. Bentuk
kepalanya runjung, hampir tanpa leher, dan tubuhnya berbentuk silinder yang
kompak. Matanya kecil dan hanya mampu membedakan terang atau gelap, dan melihat
bentuk secara sederhana, buta warna. Kaki depan dan belakangnya telah
beradaptasi untuk menggali tanah seperti mempunyai jari-jari dan telapak kaki
yang halus dan kuat, tanpa lamela seperti tikus yang bersifat arboreal.
Ciri-ciri morfologi tikus jenis Rattus norvegicus di atas mirip dengan
ciri-ciri morfologi tikus yang praktikan temukan.
Lokasi trapping dilakukan di rumah-rumah warga yang
lokasinya dekat dengan Terminal Kartasura, penempatan cage trap dilakukan
dimana saja yang sekiranya merupakan tempat-tempat tikus berlalu lalang. Dari
34 cage trap, hanya 8 cage trap saja yang mendapatkan tikus. Hal ini bisa
disebabkan cage trap yang tidak dicuci terlebih dahulu oleh praktikan. Tikus
memiliki indera penciuman yang sangat tajam sehingga apabila cage trap tidak
dicuci dan sempat ada tikus yang terjebak didalamnya, maka trapping selanjutnya
kemungkinan besar tidak akan mendapatkan tikus yang terjebak lagi.
Keberadaan tikus di suatu tempat dapat diketahui dengan beberapa cara walau
pada umumnya ditandai dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat
akan adanya infestasi tikus dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap
bahan makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda pergerakan tikus dari
sarang ke daerah makanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tikus pada
umumnya hanya berada dalam radius sekitar 100 meter dari lokasi sarangnya.
Tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengevaluasi perluasan infestasi tikus
diantaranya bekas gigitan atau gerogotan tikus dan liang yang terdapat
disepanjang pagar atau di sekitar tempat penyimpanan padi (Chandra, 2007).
Tikus termasuk dalam hewan rodent. Rodent merupakan salah
satu ordo dari binatang menyusui. Bahasa Latinnya Rodentia. Rodent, yaitu mamalia yang sangat
merugikan, mengganggu kehidupan serta kesejahteraan manusia, tetapi relatif
bisa hidup berdampingan dengan manusia (Astuti, 2013).
Faktor lingkungan biotik dan abiotik akan mempengaruhi dinamika
populasi tikus. Suatu populasi tikus domestik, peridomestik dan silvatik
akan beragam dalam struktur umur, fase perkembangan atau komposisi genetik dari
individu-individu penyusunnya yang diduga mempunyai perbedaan keragaman
komposisi ektoparasit yang menempatinya. Hubungan tikus dan manusia seringkali
bersifat parasitisme, yaitu menimbulkan kerugian dalam berbagai bidang
kehidupan manusia (Ustiawan, 2013).
Hubungan tikus dengan kesehatan masyarakat tikus domestik dan binatang
pengerat lain, karena distribusinya yang luas dan hubungannya dengan manusia,
berpotensi menyebabkan penyakit yang penting. Penderitaan yang ditimbulkan
akibat tikus ini mulai dari yang ringan berupa rasa tidak enak pada tempat
bekas gigitan sampai keadaan yang serius, seperti typhoid murine fever, dan yang fatal seperti pes bubonic. Demam gigitan tikus, sesuai dengan namanya ditularkan
ke manusia melalui gigitan binatang yang terinfeksi oleh binatang pengerat.
Walaupun memiliki angka presentase kasus yang rendah, penyakit ini sering
menjadi masalah kesehatan dibeberapa daerah perkotaan tempat ratusan orang,
digigit oleh binatang pengerat setiap tahunnya. Penyakit weil atau hemorrhagic
jaundice mungkin ditularkan ke manusia melalui makanan yang terkontaminasi
atau akibat kontak dengan tikus atau ekskreta
tikus yang infeksi. Tikus dapat berperan dalam penularan berbagai macam
penyakit seperti disentry amuba, cacing trichinosis, dan
sebagainya. Tikus rumah (mus musculus)
dikenal sebagai reservoir pada rickettsial poks dibaagian timur laut
amerika dan diketahui dapat berperan sebagai reservoir penyakit pes (Maulana,dkk 2011).
Untuk mencegah permasalahan penyakit-penyakit tersebut, perlu diadakannya
pengendalian. Pengendalian rodent (tikus)
dapat dilakukan dengan cara:
a.
Inspeksi tikus dan
inisial survei Inspeksi tikus dilakukan sebelum programpengendalian tikus
dilaksanakan, inspeksi yang baik akan memberikan hasil yang maksimal dalam
pengendalian tikus. Sedangkan, inisial survei dimaksudkan untuk menentukan
kondisi awal atau tingkat serangan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus
sebelum dilakukan program pengendalian tikus.
b.
Sanitasi Sanitasi
diperlukan untuk suksesnya program pengendalian hama tikus. Supaya mendapatkan
hasil sanitasi yang baik, maka perlu dibuat rekomendasi yang benar tentang
pengelolaan sampah, menjaga kebersihan area, sistem tata letak barang digudang
dengan susunan berjarak dari dinding dan tertata diatas palet, dan sebagainya.
Tikus menyukai tempat yang kotor dan lembab, dengan melakukan sanitasi sama
halnya dengan menghilangkan tempat beristirahat, bersembunyi, berteduh dan
berkembang biak tikus. Selain itu, makanan tikus juga dapat dihilangkan.
c.
Rat proofing merupakan upaya pengendalian tikus dengan upaya mencegah lokasi tetap
tertutup dari celah sehingga tikus tidak bisa masuk. Tikus dapat leluasa masuk
lewat bawah pintu yang renggang, lubang pembuangan air yang tidak tertutup
kawat kasa, lewat shaft yang tidak bersekat atau lewat jalur kabel dari
bangunan yang saling tersambung disekitarnya.
d.
Rodent killing (trapping program dan rodenticide program). Trapping
program merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan tikus yaitu
dengan membuat perangkap yang diletakkan ditempat yang biasanya dilewati tikus
sehingga tikus bisa masuk dan terperangkap. Sedangkan, poisoning programe
merupakan pengendalian tikus dengan memberikan racun pada umpan tikus.
Keberhasilannya tergantung bagaimana usaha agar tikus memilih dan menyukai
umpan makanan yang dipasang dan tidak memilih menyukai makanan lain yang ada
disekitarnya. Umpan makanan harus disukai bagi tikus dan pemangsanya ditempat
yang mudah dijangkau tikus. Rodenticide programe menggunakan bahan kimia
untuk mengendalikan tikus. Rodentisida yang digunakan adalah rodentisida
antikoagulan (Fanny, 2014).
Adapun Peraturan Pemerintah tentang
Pengendalian Tikus:
a.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun
1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan pada point 6 (vector penyakit)
menyatakan bahwa didalam rumah tidak diperbolehkan adanya tikus yang bersarang.
b.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri pada bab IX point A
menyebutkan bahwa setiap ruang perkantoran harus bebas dari tikus.
c.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kesehatan Lingkungan Sekolah.
1.
Pada Bab II point:
a). Point 2a: Atap harus kuat, tidak
bocor dan tidak menjadi tempat perindukan tikus.
b). Point 10b: Halaman sekolah harus
selalu dalam keadaan bersih, tidak bocor dan tidak menjadi tempat bersarang dan
berkembangbiaknya serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainya.
2. Pada Bab III point:
a). Point 5a: Makanan jajanan yang
dijual harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup (terlindung dari lalat
ata binatang lain dan debu).
b). Point 5c: Tempat penyimpanan
makanan yang dijual pada warung sekolahan/kantin harus selalu terpelihara dan
selalu dalam keadaan bersih, terlindungi dari debu, terhindar dari bahan kimia
berbahaya, serangga dan hewan lain.
d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan
Restoran, pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 menyebutkan bahwa fasilitas
sanitasi adalah sarana fisik bangunan dan perlengkapannya digunakan untuk
memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan
fisik yang dapat merugikan kesehatan manusia antara lain sarana air bersih,
jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi,
lemari pakaian kerja (locker),
peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan
kebersihan.
e. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 519/MENKES/SK/VI/2008
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat menyatakan bahwa:
1. tempat penjualan bebas vektor
penular penyakit dan tempat perindukannya,seperti: lalat, kecoa, tikus, nyamuk.
2. Pada los makanan siap saji dan bahan pangan
harus bebas dari lalat, kecoa dan tikus.
3. Pada area pasar angka kepadatan
tikus harus nol.
4. Dilakukan penyemprotan lalat,
nyamuk, kecoa dan tikus secara berkala minimal 2 kali setahun
f. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
426/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Risiko Kesehatan
Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas Dalam Rangka Karantina
Kesehatan.
Tikus dibidang kesehatan dapat menjadi reservoir beberapa patogen
penyebab penyakit pada manusia, baik hewan, ternak maupun peliharaan.
Penyakit tersebut dapat ditularkan melalui ektoparasit yang ada di tubuh tikus.
Ektoparasit yang di temukan pada tikus berbeda dengan binatang lainnya, baik
keragaman jenis maupun jumlah ektoparasit. Dibandingkan ektoparasit lainnya,
ektoparasit pinjal mempunyai peran penting dalam bidang kesehatan. Pinjal
merupakan serangga kecil Siphonaptera dan mengalami metamorfosis sempurna.
Pinjal dewasa bersifat parasitik, sedangkan pra-dewasanya hidup disarang atau
tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus (Ustiawan, 2013). Adapun siklus hidup pinjal terdiri dari empat tahapan
yaitu:
a. Tahap telur Kutu betina
dapat bertelur 50 telur perhari di hewan peliharaan dan selama hidupnya dapat
bertelur sampai 1.500 telur. Telur kutu ini tidak lengket, sehingga mudah jatuh
dan dapat menetas dalam dua atau lima hari.
b. Tahap larva Setelah
menetas, larva akan menghindar dari sinar ke daerah yang gelap di sekitar rumah
dan makan kotoran kutu loncat. Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan
membuat kepompong yang selanjutnya tumbuh menjadi pupa.
c. Tahap pupa Lama tahap pupa ini rata-rata 8 sampai 9 hari, tergantung dari
kondisi cuaca, ledakan populasi, dan sebagainya.
d. Tahap dewasa Kutu loncat
dewasa keluar dari kepompongnya ketika merasa hangat, getaran, dan
karbondioksida yang menandakan ada host di sekitarnya. Setelah loncat ke host,
selanjutnya kutu dewasa akan kawin dan memulai siklus baru. Siklus secara
keseluruhan dapat dipendek secepatnya sampai 3–4 minggu.
e. Umur rata-rata pinjal
sekitar 6 minggu, namun pada kondisi tertentu dapat berumur 1 tahun. Pinjal
betina dapat bertelur sebanyak 20–28 per-hari (Fanny, 2014).
Pinjal merupakan salah satu jenis vektor
yang dapat menganggu kesehatan manusia. Penyakit yang dibawa oleh vektor ini
misalnya adalah penyakit pes (sampar = plague) dan murine typhus
yang dipindahkan dari tikus ke manusia. Disamping itu pinjal bisa berfungsi
sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita anjing dan tikus,
yang kadang-kadang juga bisa menginfeksi manusia. Beberapa spesies pinjal
menggigit dan menghisap darah manusia. Vektor terpenting untuk penyakit pes dan
murine typhus ialah pinjal tikus Xenopsylla cheopis. Kuman pes, Pasteurella,
berkembang biak dalam tubuh penyakit tikus sehingga akhirnya menyumbat
tenggorokkan pinjal itu. Jika pinjal ingin mengisap darah maka ia harus
terlebih dulu muntah untuk mengeluarkan kuman-kuman pes yang menyumbat
tenggorokkannya. Muntahan tersebut masuk dalam luka gigitan dan terjadi infeksi
dengan Pasteurella (Fanny, 2014).
Adapun cara yang
dapat dilakukan untuk pencegahan pinjal yaitu:
a. Mekanik atau fisik
Pengendalian pinjal secara mekanik atau
fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam
rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum
cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva
dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga
sanitasi kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang
bergizi tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari
kontak hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di
sekitarnya. Selain itu juga dapat melalui pemberantasan inangnya yaitu tikus
dengan pemasangan perangkap tikus. Dinas Kesehatan menyajikan Upaya
pengendalian pinjal penular pes melalui pemasangan bumbung bambu berinsektisida
(Fanny, 2014).
b. Kimia
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat
dilakukan dengan menggunakan insektisida. Repelen seperti dietil toluamide
(deet) atau benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan pinjal.
Sejauh ini resistensi terhadap insektisida dari golongan organoklor, organofosfor,
karbamat, piretrin, piretroid pada
pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida
masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini
terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator
(IGR). Secara umum untuk mengatasi pinjal, formulasi serbuk (dust) dapat
diaplikasikan pada lantai rumah dan tempat jalan lari tikus. Insektisida ini
dapat juga ditaburkan dalam lubang persembunyian tikus. Diberbagai tempat Xenopsylla cheopis dan Pulex irritans telah resisten terhadap
DDT, HCH dan dieldrin. Bila demikian, insektisida
organofosfor dan karbamat seperti
diazinon 2 %, fention 2%, malation 2%, fenitrotion 2%, iodofenfos 5%, atau karbaril
3-5% dapat digunakan. Insektisida fogs atau aerosol yang mengandung malation 2% atau fenklorfos 2% kadang-kadang juga digunakan untuk fumigasi rumah
yang mengandung pinjal. Insektisida smoke
bombs yang mengandung permetrin
atau tirimifos metal dapat juga
digunakan untuk desinfeksi rumah (Fanny, 2014).
Upaya pengendalian
pinjal di daerah urban pada saat meluasnya kejadian pes atau murinethyphus, diperlukan insektisida
dan aplikasi yang terencana dengan baik agar operasi berjalan dengan memuaskan.
Pada saat yang sama
ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan meningkatkan transmisi penyakit.
ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan meningkatkan transmisi penyakit.
E. Simpulan
Pemasangan perangkap tikus hidup diperlukan waktu
selama sehari semalam. Pemasangan perangkap menggunakan umpan tempe mentah dan
ikan asin. Sebelum melakukan pemasangan perangkap tikus hidup, hendaknya alat
perangkap (cage trap) dicuci terlebih
dahulu agar tikus yang menjadi sasaran mau memasuki perangkap yang berisi umpan
tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, tikus yang
diperoleh adalah tikus reol, tikus kebun, dan tikus rumah. Terdapat tikus yang
positif pinja (ektoparasit) yaitu pada tikus jenis reol.
F. Saran
Dalam rangka mencegah penyakit yang disebabkan oleh tikus, maka perlu
memperhatikan kepadatan tikus dan keberadaan tikus sekaligus dilakukannya
tindakan pengendalian. Adanya tikus dipemukiman perlu diwaspadai pula
keberadaan ektoparasit terutama pinjal yang berpotensi menularkan penyakit pes,
murine thypus dan tularemia.
DAFTAR
PUSTAKA
Astuti, D.R.
2013. Keefektifan Rodentisida Racun
Kronis Generasi II Terhadap Keberhasilan Penangkapan
Tikus. KESMAS. Vol. 8(2):183-189.
Chandra,
Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan
Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Fanny Oktavia, dkk. 2014. Laporan Praktikum
Kesehatan Lingkungan Pemantauan dan Identifikasi
Jentik Nyamuk, Pinjal Tikus, dan
Tikus di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga. Universitas Airlangga.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006
tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan
dan Restoran.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 426/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Risiko Kesehatan Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas
Dalam Rangka Karantina Kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan
No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
19/MENKES/SK/VI/2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat.
Maulana, Yusuf. 2011. Identifikasi Ektoparasit Pada
Tikus dan Cecurut Di Daerah Fokus Pes Desa Suroteleng Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali. Balaba Vol.8(1): 17-20.
Priambodo S.
2006. Tikus dalam Hama Pemukiman
Indonesia, Pengenalan Biologi dan Pengendalian
Hama Pemukiman. In: Sigit SH, ed. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ustiawan,
Adil. 2013. Spesies Tikus, Cecurut Dan
Pinjal Yang Ditemukan Di Pasar Kota Banjarnegara,
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2013. Balaba. Vol.9(2): 39-46.
LAMPIRAN
Gambar
1. Cage Trap Yang Hendak Dipasang.
Gambar 2. Tikus Terperangkap
Didalam Cage Trap
Yang Dipasang Sehari Semalam.
Gambar
3. Penyuntikkan Chloroform Pada Tikus Gambar 4. Penimbangan Tikus.
Yang
Hendak Di Identifikasi.
Gambar
5. Pengukuran Tubuh Tikus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar